POLITIK
Keluarga Korban Kanjuruhan Teriaki Erick Thohir Pembohong
IndoJurnal – Tragedi Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur sudah sembilan bulan berlalu. Namun, penyidikan dalam kasus tersebut dianggap tak memenuhi rasa keadilan bagi korban dan keluarga korban.
Mengingat, pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat para tersangka juga dianggap tidak tepat. Di antara mereka yang ditetapkan sebagai tersangka hanya dijerat pasal kelalaian, bukan penganiayaan, pembunuhan atau bahkan pembunuhan berencana.
Korban dan keluarga korban pun hingga saat ini terus mendesak pemerintah, terlebih kepada PSSI untuk bisa menuntaskan kasus Kanjuruhan sampai akar-akarnya.
Moment tersebut pun akhirnya terjadi, ketika Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum PSSI Erick Thohir ke Pasar Bululawang, Kabupaten Malang pada Selasa (25/7/2023).
Teriakan terdengar dari seorang ibu bernama Rini Hanifah yang tak lain adalah salah satu keluarga korban Tragedi Kanjuruhan. Pada saat hadiri kunjungan Presiden Jokowi ke Pasar Bululawang tersebut, Rini berteriak histeris sambil menyebut nama Erick Thohir.
“Bapak Erick Thohir tolong saya pak!,” teriak Rini.
Merasa tidak puas karena tak dihiraukan, bu Rini pun kembali menerikan Ketua PSSI itu dengan sebutan ‘pembohong’.
“Bapak pembohong!,” teriak ibu Rini.
“Bapak Erick Thohir janji bapak mengusut tuntas (kasus Kanjuruhan) mana pak? Bapak mendukung pembunuh anak saya pak!,” ucapnya.
Penetapan 6 tersangka tragedi Kanjuruhan
Seperti diketahui, dari kasus tersebut ada enam orang ditetapkan sebagai tersangka. Diantaranya, Ketua Panitia Pelaksana Arema FC Abdul Haris, Security Officer Suko Sutrisno, dan Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru Akhmad Hadian Lukita.
Kemudian, Danki 3 Brimob Polda Jatim AKP Hasdarmawan, Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto, dan Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi.
Mereka dijerat Pasal 359 KHUP dan atau Pasal 360 KUHP dan atau Pasal 103 ayat (1) Jo pasal 52 UU RI no 11 tahun 2022 tentang Keolahragaan.
Selain enam tersangka, dua perwira polisi juga dicopot dari jabatannya yakni, Kapolda Jawa Timur Irjen Nico Afinta dan Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat.
Proses penyidikan tragedi Kanjuruhan cukup alot. Tiga Bulan berlalu, penyidikan dianggap tak memenuhi rasa keadilan korban dan keluarga korban.
Sempat ada dugaan intimidasi terhadap DA, ayah dari dua korban tewas tragedi Kanjuruhan, yang meminta jenazah anaknya untuk diautopsi.
Selain itu, pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat tersangka juga dianggap tidak tepat. Sebab, mereka hanya dijerat pasal kelalaian, bukan penganiayaan, pembunuhan atau pembunuhan berencana.
Baca Juga: Mateus Pato Hengkang, Ini 4 Kandidat Top Skor Liga 1 Indonesia
Laporan dari TGIPF tragedi Kanjuruhan
Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) tragedi Kanjuruhan menyatakan proses penanganan kasus ini membuktikan betapa buruknya hukum dan penegakan keadilan di Indonesia.
Mereka mencurigai adanya strategi untuk mempetieskan kasus itu. Hal ini menurutnya terlihat dari proses otopsi yang menyimpulkan bahwa kematian korban bukan karena gas air mata tetapi akibat pemukulan.
Kesimpulan hasil dari investigasi TGIPF sebelumnya adalah 135 korban tewas karena gas air mata dan polisi bertanggung jawab atas kejadian tersebut.
Salah satu keluarga korban tragedi Kanjuruhan, DA mengatakan vonis majelis hakim yang membebaskan dua polisi tidak memenuhi rasa keadilan para keluarga korban karena yang disalahkan justru angin.
Menurut pihaknya, proses sidang seperti sudah direkayasa. Ketika menjadi saksi, dia merasa pertanyaan dari hakim dan jaksa seperti sandiwara dan selalu menyudut Aremania sebagai penyebab tragedi Kanjuruhan.
Saat bersaksi, DA menolak hasil autopsi yang menyimpulkan kematian dua anak perempuannya karena terinjak-injak, bukan oleh gas air mata.
“Itu sudah sangat melukai hati saya, melukai hati semua korban yang mengharapkan bahwa kedua putri saya sebagai sampel untuk mengurai tabir kepalsuan ini,” ujarnya.