POLITIK
Yusril Ingatkan Gibran untuk Tak Memaksakan Diri Jadi Cawapres
IndoJurnal – Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menilai akan menjadi terhormat jika putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, menolak maju sebagai bakal cawapres Pilpres 2024.
Meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengubah syarat pendaftaran capres-cawapres dan memungkinkan Gibran untuk maju.
“Kalau Gibran dengan jiwa besar menyatakan tidak maju, meski bisa maju di Pilpres usai adanya putusan MK, ini menjadi solusi dari masalah ini,” kata Yusril usai diskusi Menakar Pemilu Pascaputusan MK di Jakarta pada Selasa (17/10/2023).
Jika menjadi Gibran, Yusril mengatakan dia akan mengucapkan terima kasih kepada MK karena telah memutus perkara uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang membuat dirinya bisa maju di Pilpres 2024.
Namun, dia menyadari jika memaksakan diri untuk maju, maka akan menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. Sehingga, sebaiknya Gibran tidak memaksakan diri dan rakyat akan menaruh rasa hormat pada dirinya.
“Saya tidak menemukan jalan lain karena putusan MK ini bersifat final dan mengikat,” kata Yusril.
Yusril mengaku sempat terkecoh dengan putusan MK, karena putusan untuk tiga perkara di awal sudah sesuai dengan maksudnya dan dia pun berkomentar bahwa MK bukan “Mahkamah Keluarga”.
Namun, pada putusan perkara keempat, Yusril terhenyak karena putusan tersebut problematik dan bukan keputusan bulat.
“Ini putusan yang tidak bulat karena ada empat hakim yang menolak gugatan, dua hakim menyetujui dengan alasan berbeda dan tiga menyetujui,” ujar Yusril.
- Relawan Jokowi Dukung Prabowo, TPN Ganjar: Hak Masing-Masing
- DPP Projo Dukung Prabowo, Akar Rumput Malah Pilih Ganjar
- Bukan AHY, Demokrat Malah Usul Khofifah Jadi Cawapres Prabowo
Pakar Nilai Keputusan MK Bermuatan Politis
Pakar politik dari Universitas Andalas, Sumatera Barat, Profesor Asrinaldi mengemukakan putusan MK terkait syarat capres dan cawapres berpengalaman atau sedang menjabat sebagai kepala daerah terkesan bermuatan politis.
“Banyak orang yang menyayangkan sikap MK ini yang sebenarnya dalam tanda kutip ‘berpolitik’,” kata Asrinaldi di Padang.
Hal tersebut disampaikan Prof. Asrinaldi menanggapi putusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengenai batas usia capres dan cawapres diubah menjadi berusia 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah.
Menurut ia, sebelum perkara yang terdaftar dengan nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut diputus MK, masyarakat sudah memprediksi akan ada kejutan dari lembaga hukum itu.
Ia mengatakan klausul tambahan yang dimuat dalam putusan MK tersebut tidak hanya menimbulkan tanda tanya dari masyarakat, namun juga hakim konstitusi MK, salah satunya Prof. Saldi Isra.
“Kalau bahasa Profesor Saldi, itu norma baru yang sebenarnya tidak ada dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Inilah yang membuat banyak orang menyayangkan sikap MK yang terkesan politis dan seharusnya tidak boleh hadir,” jelasnya.
Mengenai pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Guntur Hamzah dan menjadi alasan hingga mengabulkan gugatan tersebut ialah sejumlah negara yang mengatur batas usia kepemimpinan di bawah 40 tahun.
Asrinaldi menilai hal tersebut bisa saja diterapkan di Indonesia, namun bukan untuk Pilpres 2024. Sebab jika tetap diimplementasikan maka terkesan menguntungkan kepentingan politik pihak tertentu.
“Bisa saja dilaksanakan, tapi bukan dalam waktu yang mendesak (Pilpres 2024). Artinya, kalau mau diimplementasikan, ya harusnya pada Pilpres 2029,” jelasnya.
Asrinaldi menambahkan bahwa untuk memimpin negara sebesar Indonesia dibutuhkan sosok pemimpin yang cakap dari berbagai aspek.
“Oleh karena itu, seharusnya butuh kajian mendalam, apakah capres atau cawapres berusia di bawah 40 tahun layak mengomandoi 270 juta jiwa lebih masyarakat Indonesia,” katanya menambahkan.